Kejahatan Koorporasi
Adalah
merupakan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang penting
dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Keraguan pada
masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang
dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana, sudah bergeser.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, pandangan terhadap (sebab) kejahatan mengalami
pergeseran. Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri
pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan.
Maka oleh karena itu, tugas kriminologi kritis adalah menganalisa proses-proses
bagaimana cap jahat itu diterapkan terhadap tindakan tertentu dan orang-orang
tertentu. Ini mengandung arti, bahwa untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari
seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi
pembentukan undang-undang yakni dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak
pidana maupun dalam bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang
atau orang-orang tertentu sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses
bekerjanya hukum adalah bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu
perilaku tertentu dalam konteks kehidupan masyarakat.
Namun yang
jelas bahwa saat ini belum begitu banyak masyarakat yang mengetahui termasuk
aparat penengak hukum, oleh karena terpaku pada pandangan yang sempit dalam
memandang kejahatan, yaitu hanya bersifat yuridis formal bahwa kejahatan
korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang
kejahatan perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan oleh karena dalam
kejahatan perampokan dan penipuan itu, korban yang terkena hanya terbatas pada
korban yang berhadapan langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa
pelaku yang terkena kejahatan tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya.
Dampak kejahatannya tidak mesti mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu
sebagai korban.
Kemudian, dalam
hal kejahatan perampokan dan penipuan yang menimbulkan kerugian, jumlah
kerugian yang diderita oleh korban hanya terbatas dalam jumlah tertentu,
sejumlah nilai uang tertentu yang masih dapat diperkirakan. Sedangkan dalam hal
kejahatan korporasi yang juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah
kerugian yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung
secara pasti. Bahkan dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang
merugikan tanpa dapat disangka dan diduga, seperti polusi udara, pencemaran
lingkungan hidup, hasil produk yang membahayakan kesehatan maupun keyakinan
agama dan lain-lain.
Lalu apakah
korporasi yang demikian itu bisa dipidana? Atau suatu keraguan yang masih
saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu korporasi dapat
melakukan kejahatan? Keraguan dan pertanyaan seperti ini adalah sebagai suatu
hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran yang masih diselimuti
oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam benak seseorang, dan
sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya merumuskan manusialah
yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai pelaku
kejahatan. Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang sangat sederhana oleh J.
E. Sahetapy dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu
korporasi melakukan suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari
apakah itu bertentangan atau tidak dengan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Akan menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan
secara logika adalah suatu kontradiksi bilamana suatu korporasi dapat melakukan
suatu perbuatan atau tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
tetapi pada pihak lain tidak mungkin suatu korporasi melakukan suatu tindak
pidana.
Apa yang
diuraikan di atas agaknya sudah cukup jelas, oleh karena memang keberadaan
(eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan
dan didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang
diciptakan oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas
hukum, sehingga sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan
tindakan yang melulu sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku.
Manusia sendiri sebagai subjek hukum alamiah (natuurlijke persoon) dalam
beberapa hal juga melakukan pelanggaran hukum apalagi badan
hukum (korporasi) yang seperti diketahui berorientasi pada profit (laba/keuntungan),
maka adalah mustahil dalam aktifitas kegiatannya yang mengutamakan keuntungan
itu tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.
Perdebatan
ilmiah yang kemudian timbul, antara lain menyangkut pengertian tentang apa yang
sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime Of Corporations” karena dalam
rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh seseorang … dalam pelaksanaan
kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus perusahaan. Meskipun
WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk person), namun pada
akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus
dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau
korporasi tempat manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC
di atas kemudian ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation
of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh
masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat,
untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan
bertikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan
yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan
kolusi), telah menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk
dalam pengertian WCC.
Atas dasar
pemikiran seperti inilah agakanya Marshall B. Clinard mengatakan bahwa,
kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih, namun ia
tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke dalam bentuk
kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan
mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga
dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga. Namun
semuanya masih dalam rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.
Kejahatan kerah
putih timbul dari pemikiran dan paham ilmuwan sosioeconomic yang
berpendapat bahwa secara struktural kejahatan yang dilakukan oleh upper
class adalah lebih berbahaya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower
class. Maka konsekuensinya adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan kerah
putih harus dilakukan secara ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang
relatif, perlu adanya teori kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah
putih.
Menurut
Sutherland, maka kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang
memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan
aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih
(WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap
kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada
ini, secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama,
ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi
atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan,
pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan
secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara
langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata,
yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua
ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada
calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen
(usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang
sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.
Selanjutnya,
bahwa kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi,
yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak pidana yang
menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung dengan
uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu misalnya hilangnya
kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang berlaku. Semua yang
dilakukan dalam konteks ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi
(perekonomian) dan atau berkaitan dengan dunia bisnis.
Terlepas dari
apa yang diuraikan di atas, dilain pihak dari literatur-literatur yang ada,
dijelaskan adanya dua tipe dari kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational
Crime dan kedua Corporate Crime. Occupational Crime adalah
bentuk perbuatan seseorang sekelompok orang yang berhubungan dengan pekerjaan.
Misalnya saja seorang majikan terhadap buruhnya, seorang dokter dengan
pekerjaannya, seorang lawyer terhadap kliennya, dan lain-lain. Occupational
Crime juga dapat terjadi apabila seseorang melakukan penggelapan
(kejahatan) pajak yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Corporate Crime
adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan
korporasi. memang agak membingungkan antara keberadaan kejahatan
korporasi dengan kejahatan occupational. Namun apabila seseorang
melakukan pekerjaannya dalam sebuah korporasi dan melakukan penyimpangan dalam
korporasi tersebut, maka itu adalah kejahatan korporasi, namun sebaliknya
apabila ia melakukan penyimpangan semata-mata dalam pekerjaannya, maka itu
adalah occupationl crime. Dalam konteks ini yang disorot adalah
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yakni corporate crime. Keberadaan
korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang lampau,
meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerja sama (asosiasi) daripada tujuan
untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada
umumnya.
Munculnya
industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai badan
hukum dan badan ekonomi. Barangkali V. O. C. yang didirikan oleh belanda
pada tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang
dibangun dengan modal (saham) yang tetap. Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku bisnis dikaitkan dengan
kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini mengikuti pendapat Mardjono
Reksodiputro yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat
sebagai bagian dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam
rangka untuk membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan
pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup
kegiatan ekonomi atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas. Tidak ingin
dimasukkan dalam pengertian tindak pidana korporasi dalam rangka tulisan ini,
misalnya penipuan atau perbuatan membahayakan yang dilakukan oleh warung atau
toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor
yang berskala kecil. Permasalahan hukum pidana yang timbul sehubungan dengan
pertanggung jawaban dan kesalahan jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan
berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan perekonomian kita selama
dua dasawarsa yang lalu, yang telah menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka
hukum, termasuk hukum pidana dituntut untuk turut berkembang agar dapat
mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai itu yang berakibat
merugikan masyarakat dan negara.
Permasalahan
hukum pidana menghadapi kejahatan korporasi ini adalah justru
disebabkan oleh karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan
secara rahasia, sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para
korbanpun tidak mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang
biasanya terlihat hanyalah “puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit
kasus-kasus tindak pidana korporasi yang diungkapkan untuk diajukan ke
pengadilan, maka menuntut pertanggung jawaban korporasi akan memberikan efek
pencegahan yang lebih besar ketimbang meminta pertanggung jawaban dari
pengurusnya. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk secara bersama juga
menuntut orang yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan korporasi
tersebut.
Contoh Kejahatan Koorporasi
Kasus Adelin Lis, karikatur dari kejahatan korporasi
di hutan
Dibebaskannya Adelin Lis bagi kita
yang selama ini mengamati dan pernah melakukan studi mengenai pencurian kayu,
sebenarnya dalam kontek tradisi pengadilan pencuri kayu, Adelin Lis ini hanya
“karikatur” yang muncul sekarang. Sementara selama ini banyak pencuri kayu yang
dibebaskan juga. Demikian disampaikan oleh Direktur
Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Ir. S. Indro
Tjahyono, dalam suatu dialog bertema “Hutan Kau Babat, Kau Ku Bebaskan”, yang
diadakan di Mario’s Place Menteng Huis, pada Sabtu (10/11).
Menurutnya, makna karikatur ini
menunjukkan bahwa pencuri-pencuri kayu ini mempunyai kekebalan hukum (impunity)
untuk dituntut. Ini karena hukum yang ada tidak berusaha untuk menjaring
pencuri-pencuri kayu ini sehingga bisa dituntut dan dijebloskan ke penjara. "Ada
sesuatu yang saya katakan bahwa inilah “karikatur” dari satu kejahatan
korporasi (corporate crime). Jadi mereka mengikutkan juga elemen politik
(orang-orang politik), elemen kekuatan senjata (TNI – Polri), elemen lembaga
peradilan.
Jadi ada mafia peradilan yang
sebenarnya bersekongkol untuk mempertahankan pencurian-pencurian kayu, karena
dia memang instrumen dari pencuri kayu itu sendiri," ujarnya. Ia kemudian
memberikan contoh kasus pencurian kayu jati di Jawa seperti yang terjadi di
Blora, Blitar, atau di Caruban yang menunjukkan bahwa mafia pencuri kayu jati
itu bahkan punya jaringan sampai pengadilan. Jadi promosi hakim, promosi jaksa
di pengadilan negeri itu dikuasai mereka. Sehingga jaksa yang berusaha menuntut
berat pencuri kayu itu bisa dipindah.
Dalam kaitannya dengan kasus
bebasnya Adelin Lis ini, Tjahyono ingin membuktikan pernyataannya bahwa memang
mafia peradilan ini lebih memihak pencuri kayu. Di antaranya begitu Adelin Lis
dibebaskan, hakim yang membebaskan Adelin Lis langsung naik pangkat.
"Bahkan kenaikan pangkat itu kelihatannya
merupakan rekayasa birokrasi, karena selain dinaikkan pangkatnya, salah satu
hakim juga langsung dipindahkan ke Bengkulu. Ini dilakukan untuk membuat
hakimnya jadi buyar," katanya.
Dengan demikian menurutnya,
pengadilan sudah dikuasai oleh pencuri kayu itu, karena mereka mesti bagi-bagi
ke semua. Begitu pun banyak pejabat di sana yang ditentukan oleh Adelin Lis. Ia
juga menjelaskan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh lembaganya
mengenai kasus-kasus pencurian kayu, yang masuk ke pengadilan hingga ke
penuntutan itu hanya 0,1 persen. Kalau penyidikan memang banyak, sampai 25
persen yang masuk, tapi ketika penuntutan hanya ada 0,1 persen dan hasilnya
bebas. "Inikan
quo-vadis dari lembaga peradilan kita, dan saya akan kembali bahwa masalahnya
bukan dihukumnya itu sendiri. Masalahnya
adalah hukum sebagai instrumen untuk mengatur sesuatu, tetapi mengatur
apa," tegasnya setengah bertanya.
Dari sinilah dapat dijumpai ada
tidaknya faktor kemauan politik (political will). Baik dari pemerintah
atau masyarakat, untuk memberantas pencuri kayu dan menciptakan hukum yang
memang bisa menangkal berbagai pencurian kayu. Hukum di negeri ini sedang
dicoba diciptakan untuk membiarkan pencuri kayu antara lain dengan adanya
dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum. Padahal sanksi
administratif itu mempunyai keterbatasan, yakni ketika tindakan dari anggota
lembaga apa pun telah membahayakan publik, maka ini adalah urusan hukum pidana.
Ini harus ada batasannya. "Kalau itu didiamkan dan DPR tidak mencoba
memberi perbedaan yang jelas antara sanksi administrasi dan sanksi hukum, yang
terjadi ya seperti sekarang ini," katanya.
Sementara itu Departemen Kehutanan
merasa bahwa semua pelanggaran HPH itu adalah sanksi administratif, dia bisa
didenda, padahal bisnis denda di Departemen Kehutanan itu sudah sangat jorok.
Bahkan diindikasikan sebagai alat memeras secara diam-diam pada para pencuri
kayu.
REFERENSI:
http://artikelperpustakaanfktugm.blogspot.com/2013/05/tjahyono-kasus-adelin-lis-karikatur.html
http://rivvei.blogspot.com/2013/01/kejahatan-korporasi-dalam-perspektif.html#_