Senin, 04 November 2013

Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Koorporasi




Kejahatan Koorporasi
Adalah merupakan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sudah bergeser.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan terhadap (sebab) kejahatan mengalami pergeseran. Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Maka oleh karena itu, tugas kriminologi kritis adalah menganalisa proses-proses bagaimana cap jahat itu diterapkan terhadap tindakan tertentu dan orang-orang tertentu. Ini mengandung arti, bahwa untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak pidana maupun dalam bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang atau orang-orang tertentu sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses bekerjanya hukum adalah bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu perilaku tertentu dalam konteks kehidupan masyarakat.

Namun yang jelas bahwa saat ini belum begitu banyak masyarakat yang mengetahui termasuk aparat penengak hukum, oleh karena terpaku pada pandangan yang sempit dalam memandang kejahatan, yaitu hanya bersifat yuridis formal bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang kejahatan perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan oleh karena dalam kejahatan perampokan dan penipuan itu, korban yang terkena hanya terbatas pada korban yang berhadapan langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa pelaku yang terkena kejahatan tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya. Dampak kejahatannya tidak mesti mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu sebagai korban.

Kemudian, dalam hal kejahatan perampokan dan penipuan yang menimbulkan kerugian, jumlah kerugian yang diderita oleh korban hanya terbatas dalam jumlah tertentu, sejumlah nilai uang tertentu yang masih dapat diperkirakan. Sedangkan dalam hal kejahatan korporasi yang juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah kerugian yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung secara pasti. Bahkan dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang merugikan tanpa dapat disangka dan diduga, seperti polusi udara, pencemaran lingkungan hidup, hasil produk yang membahayakan kesehatan maupun keyakinan agama dan lain-lain.

Lalu apakah korporasi yang demikian itu bisa dipidana? Atau suatu keraguan yang masih saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu korporasi dapat melakukan kejahatan? Keraguan dan pertanyaan seperti ini adalah sebagai suatu hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran yang masih diselimuti oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam benak seseorang, dan sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya merumuskan manusialah yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai pelaku kejahatan. Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang sangat sederhana oleh J. E. Sahetapy dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu korporasi melakukan suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari apakah itu bertentangan atau tidak dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akan menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan secara logika adalah suatu kontradiksi bilamana suatu korporasi dapat melakukan suatu perbuatan atau tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi pada pihak lain tidak mungkin suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana.

Apa yang diuraikan di atas agaknya sudah cukup jelas, oleh karena memang keberadaan (eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan dan didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang diciptakan oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sehingga sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan tindakan yang melulu sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku. Manusia sendiri sebagai subjek hukum alamiah (natuurlijke persoon) dalam beberapa hal juga melakukan pelanggaran hukum apalagi badan hukum (korporasi) yang seperti diketahui berorientasi pada profit (laba/keuntungan), maka adalah mustahil dalam aktifitas kegiatannya yang mengutamakan keuntungan itu tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.
Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara lain menyangkut pengertian tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime Of Corporations” karena dalam rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh seseorang … dalam pelaksanaan kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus perusahaan. Meskipun WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk person), namun pada akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau korporasi tempat manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC di atas kemudian ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat, untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan bertikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan kolusi), telah menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk dalam pengertian WCC.

Atas dasar pemikiran seperti inilah agakanya Marshall B. Clinard mengatakan bahwa, kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih, namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke dalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga. Namun semuanya masih dalam rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.

Kejahatan kerah putih timbul dari pemikiran dan paham ilmuwan sosioeconomic yang berpendapat bahwa secara struktural kejahatan yang dilakukan oleh upper class adalah lebih berbahaya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower class. Maka konsekuensinya adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan kerah putih harus dilakukan secara ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang relatif, perlu adanya teori kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah putih.

Menurut Sutherland, maka kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini, secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata, yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.

Selanjutnya, bahwa kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang berlaku. Semua yang dilakukan dalam konteks ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi (perekonomian) dan atau berkaitan dengan dunia bisnis.

Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, dilain pihak dari literatur-literatur yang ada, dijelaskan adanya dua tipe dari kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational Crime dan kedua Corporate Crime. Occupational Crime adalah bentuk perbuatan seseorang sekelompok orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya saja seorang majikan terhadap buruhnya, seorang dokter dengan pekerjaannya, seorang lawyer terhadap kliennya, dan lain-lain. Occupational Crime juga dapat terjadi apabila seseorang melakukan penggelapan (kejahatan) pajak yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Corporate Crime adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan korporasi. memang agak membingungkan antara keberadaan kejahatan korporasi dengan kejahatan occupational. Namun apabila seseorang melakukan pekerjaannya dalam sebuah korporasi dan melakukan penyimpangan dalam korporasi tersebut, maka itu adalah kejahatan korporasi, namun sebaliknya apabila ia melakukan penyimpangan semata-mata dalam pekerjaannya, maka itu adalah occupationl crime. Dalam konteks ini yang disorot adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yakni corporate crime. Keberadaan korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang lampau, meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerja sama (asosiasi) daripada tujuan untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada umumnya.

Munculnya industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali V. O. C. yang didirikan oleh belanda pada tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang dibangun dengan modal (saham) yang tetap. Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku bisnis dikaitkan dengan kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini mengikuti pendapat Mardjono Reksodiputro yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai bagian dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam rangka untuk membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas. Tidak ingin dimasukkan dalam pengertian tindak pidana korporasi dalam rangka tulisan ini, misalnya penipuan atau perbuatan membahayakan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor yang berskala kecil. Permasalahan hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggung jawaban dan kesalahan jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan perekonomian kita selama dua dasawarsa yang lalu, yang telah menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka hukum, termasuk hukum pidana dituntut untuk turut berkembang agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai itu yang berakibat merugikan masyarakat dan negara.

Permasalahan hukum pidana menghadapi kejahatan korporasi ini adalah justru disebabkan oleh karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan secara rahasia, sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para korbanpun tidak mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah “puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit kasus-kasus tindak pidana korporasi yang diungkapkan untuk diajukan ke pengadilan, maka menuntut pertanggung jawaban korporasi akan memberikan efek pencegahan yang lebih besar ketimbang meminta pertanggung jawaban dari pengurusnya. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan korporasi tersebut.


Contoh Kejahatan Koorporasi
Kasus Adelin Lis, karikatur dari kejahatan korporasi di hutan 
Dibebaskannya Adelin Lis bagi kita yang selama ini mengamati dan pernah melakukan studi mengenai pencurian kayu, sebenarnya dalam kontek tradisi pengadilan pencuri kayu, Adelin Lis ini hanya “karikatur” yang muncul sekarang. Sementara selama ini banyak pencuri kayu yang dibebaskan juga.  Demikian disampaikan oleh Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Ir. S. Indro Tjahyono, dalam suatu dialog bertema “Hutan Kau Babat, Kau Ku Bebaskan”, yang diadakan di Mario’s Place Menteng Huis, pada Sabtu (10/11).

Menurutnya, makna karikatur ini menunjukkan bahwa pencuri-pencuri kayu ini mempunyai kekebalan hukum (impunity) untuk dituntut. Ini karena hukum yang ada tidak berusaha untuk menjaring pencuri-pencuri kayu ini sehingga bisa dituntut dan dijebloskan ke penjara. "Ada sesuatu yang saya katakan bahwa inilah “karikatur” dari satu kejahatan korporasi (corporate crime). Jadi mereka mengikutkan juga elemen politik (orang-orang politik), elemen kekuatan senjata (TNI – Polri), elemen lembaga peradilan.

Jadi ada mafia peradilan yang sebenarnya bersekongkol untuk mempertahankan pencurian-pencurian kayu, karena dia memang instrumen dari pencuri kayu itu sendiri," ujarnya. Ia kemudian memberikan contoh kasus pencurian kayu jati di Jawa seperti yang terjadi di Blora, Blitar, atau di Caruban yang menunjukkan bahwa mafia pencuri kayu jati itu bahkan punya jaringan sampai pengadilan. Jadi promosi hakim, promosi jaksa di pengadilan negeri itu dikuasai mereka. Sehingga jaksa yang berusaha menuntut berat pencuri kayu itu bisa dipindah.

Dalam kaitannya dengan kasus bebasnya Adelin Lis ini, Tjahyono ingin membuktikan pernyataannya bahwa memang mafia peradilan ini lebih memihak pencuri kayu. Di antaranya begitu Adelin Lis dibebaskan, hakim yang membebaskan Adelin Lis langsung naik pangkat.
"Bahkan kenaikan pangkat itu kelihatannya merupakan rekayasa birokrasi, karena selain dinaikkan pangkatnya, salah satu hakim juga langsung dipindahkan ke Bengkulu. Ini dilakukan untuk membuat hakimnya jadi buyar," katanya. 
Dengan demikian menurutnya, pengadilan sudah dikuasai oleh pencuri kayu itu, karena mereka mesti bagi-bagi ke semua. Begitu pun banyak pejabat di sana yang ditentukan oleh Adelin Lis. Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh lembaganya mengenai kasus-kasus pencurian kayu, yang masuk ke pengadilan hingga ke penuntutan itu hanya 0,1 persen. Kalau penyidikan memang banyak, sampai 25 persen yang masuk, tapi ketika penuntutan hanya ada 0,1 persen dan hasilnya bebas. "Inikan quo-vadis dari lembaga peradilan kita, dan saya akan kembali bahwa masalahnya bukan dihukumnya itu sendiri. Masalahnya adalah hukum sebagai instrumen untuk mengatur sesuatu, tetapi mengatur apa," tegasnya setengah bertanya.

Dari sinilah dapat dijumpai ada tidaknya faktor kemauan politik (political will). Baik dari pemerintah atau masyarakat, untuk memberantas pencuri kayu dan menciptakan hukum yang memang bisa menangkal berbagai pencurian kayu. Hukum di negeri ini sedang dicoba diciptakan untuk membiarkan pencuri kayu antara lain dengan adanya dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum. Padahal sanksi administratif itu mempunyai keterbatasan, yakni ketika tindakan dari anggota lembaga apa pun telah membahayakan publik, maka ini adalah urusan hukum pidana. Ini harus ada batasannya. "Kalau itu didiamkan dan DPR tidak mencoba memberi perbedaan yang jelas antara sanksi administrasi dan sanksi hukum, yang terjadi ya seperti sekarang ini," katanya.

Sementara itu Departemen Kehutanan merasa bahwa semua pelanggaran HPH itu adalah sanksi administratif, dia bisa didenda, padahal bisnis denda di Departemen Kehutanan itu sudah sangat jorok. Bahkan diindikasikan sebagai alat memeras secara diam-diam pada para pencuri kayu. 

REFERENSI:
http://artikelperpustakaanfktugm.blogspot.com/2013/05/tjahyono-kasus-adelin-lis-karikatur.html
http://rivvei.blogspot.com/2013/01/kejahatan-korporasi-dalam-perspektif.html#_



Tidak ada komentar:

Posting Komentar