Jumat, 12 Oktober 2012

JURNAL PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA (ACFTA)


ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA (CFTA) DAN PENGARUHNYA PADA DAYA SAING INDONESIA
Penulis: Dr. Makarim Wibisono
Abstraksi:
Sejak kelahiran ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada tahun 2002, gagasan tesrsebut telah memancing banyak pertanyaan. Mengapa ACFTA perlu disepakati? Apa pula manfaatnya pada ekonomi dan pembangunan negara-negara ASEAN? Bagaimana pengaruhnya terhadap daya saing negara-negara ASEAN yang rendah terkecuali Singapore, dan Malaysia? Gaung pertanyaan ini sejak awal 2010 muncul lebih nyaring karena ketentuan pasar bebas ASEAN - Cina harus mulai dilaksanakan pada tahun ini di Indonesia, Brunei, Malaysia, Thailand, Singapore dan Thailand. Sedangkan negara-negara yang belakangan bergabung dalam ASEAN seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam mulai menerapkannya lima tahun kemudian. Tulisan ini membahas masalahmasalah yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan di atas dan juga memberikan berbagai solusi dalam mengatasi dilema yang timbul dari penerapan ACFTA tersebut.

KEBANGKITAN CHINA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INDONESIA: PERSPEKTIF EKONOMI DAN POLITIK KEAMANAN
Penulis: Prof. Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D·
Abstraksi:
Kebangkitan RRC sebagai sebuah kekuatan baru dalam kancah ekonomi dan politik keamanan global telah menyedot perhatian yang begitu luas dan dalam. Hal ini kemudian memicu berbagai diskusi dan perdebatan apakah RRC akan menjadi kekuatan baru yang akan berifat hegemonik. Akan sangat menarik sekali bagi kita untuk dapat melihat fenomena hegemoni yang akan dijalankan oleh RRC, terutama dari sisi ekonomi dan palitik keamanan, sehingga kita dapat menyikapinya dengan arif. Dengan demikian, tulisan ini akan membahas tentang kebangkitan RRC khususnya dalam bidang ekanomi dan politik keamanan dan juga implikasinya terhadap tatanan dunia pada umumnya dan juga implikasinya terhadap Indonesia pada khususnya

Oleh Hidayatullah Muttaqin
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu secara meyakinkan telah memutuskan untuk melanjutkan ACFTA secara penuh tanpa penundaan dan tanpa pemilahan pos tarif. Kebijakan yang tidak mewakili kepentingan dalam negeri tersebut menjadi berita buruk bagi masyarakat termasuk kalangan pengrajin.
Betapa tidak baru tiga bulan ACFTA dilaksanakan, omzet pengrajin mebel di Jawa Tengah turun drastis 50% dari Rp 50 juta menjadi Rp 25 juta. Industri kecil lainnya, omzet pengrajin batik turun 40%. Ketua Asosiasi Perajin dan Industri Kecil Kabupaten Cilacap, Sumarmo menyatakan penurunan omzet 50% juga dialami pengrajin dari bambu. Katanya: “Sebelum ACFTA bisa mencapai Rp 50 juta per bulan dengan pasar Jakarta, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta.”
Penurunan omzet pengrajin ini secara drastis akibat ACFTA menambah daftar ketidakpedulian pemerintah atas rakyatnya. Pemerintah lebih berorientasi pada kepentingan asing dengan slogan yang penting kesohor. Semua ini akibat liberalisasi ekonomi yang melanda negeri kita sebagai konsekwensi cengkraman neoimperialisme.  [Jurnal Ekonomi Ideologis / www.jurnal-ekonomi.org]

Tema: Perdagangan Bebas

Judul: Dampak Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA (ACFTA) bagi Perekonomian Indonesia

Latar Belakang

Kebangkitan RRC sebagai sebuah kekuatan baru dalam kancah ekonomi dan politik keamanan global telah menyedot perhatian yang begitu luas dan dalam. Hal ini kemudian memicu berbagai diskusi dan perdebatan apakah RRC akan menjadi kekuatan baru yang akan berifat hegemonic. Sejak itulah lahir ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada tahun 2002, gagasan tesrsebut telah memancing banyak pertanyaan. Mengapa ACFTA perlu disepakati? Apa pula manfaatnya pada ekonomi dan pembangunan negara-negara ASEAN? Bagaimana pengaruhnya terhadap daya saing negara-negara ASEAN yang rendah.
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu secara meyakinkan telah memutuskan untuk melanjutkan ACFTA secara penuh tanpa penundaan dan tanpa pemilahan pos tarif. Kebijakan yang tidak mewakili kepentingan dalam negeri tersebut menjadi berita buruk bagi masyarakat termasuk kalangan pengrajin. Ini dibuktikan pada omzet pengrajin mebel di Jawa Tengah turun drastis 50% dari Rp 50 juta menjadi Rp 25 juta. Industri kecil lainnya, omzet pengrajin batik turun 40% dalam tiga bulan pelaksanaan ACFTA. Akan sangat menarik sekali bagi kita untuk dapat melihat fenomena hegemoni yang akan dijalankan oleh RRC, terutama dari sisi ekonomi sehingga kita dapat menyikapinya dengan arif. 
Menurut saya, pemerintah harus pemerintah harus memiliki kebijakan dalam hal ini seperti dalam contoh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) diatas, agar para pelaku UKM merasa aman dengan produknya yang bersaing dengan produk dari China, padahal seharusnya dengan adanya perjanjian ACFTA dapat berdampak positif dan memberi keuntungan untuk para pelaku UKM di Indonesia, dengan seperti itu UKM seharusnya bisa meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan produktifitas yang tinggi dengan biaya produksi yang bisa ditekan. Dengan hal ini UKM bisa berkembang dan meningkatkan daya saing mereka dengan produk China.

Kesalahan pemerintah adalah tidak mempersiapkan usaha mikro dan industri-industri lokal secara baik, seharusnya pemerintah dapat memanfaatkan perjanjian ini guna memajukan perekonomian bangsa, sedangkan pemerintah China sendiri telah mempersiapkan dengan baik industri-industri lokalnya untuk memanfaatkan perjanjian ini. Banyak yang menyebutkan perjanjian ACFTA ini hanya akan menguntungkan pihak China saja dan sebaliknya hanya akan menurunkan produksi dalam negeri. 

Sumber Jurnal



http://library.gunadarma.ac.id/journal/view/4778/asean-china-free-trade-area-cftadan-pengaruhnya-pada-daya-saing-indonesia.html/
REFERENSI BERITA:
Bisnis Indonesia (7/4/2010) : Omzet Perajin Turun 50% karena ACFTA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar